Rabu, 25 Maret 2009

Kisah Sang Pemburu Senyuman

Berapa banyak dari Anda yang tiba tiba hatinya ber bunga bunga dan hidungnya kembang kempis, hanya karena seseorang – apalagi bila orang itu cantik atau ganteng – tersenyum ke arah Anda. Tidak, Anda tidak sedang ge-er. Ini normal kok. Tapi yang tidak normal adalah bahwa senyum gratis dan tanpa pretensi itu sekarang sudah jadi barang langka. Apalagi di Jakarta ini. Inilah salah satu perburuan saya yang belum berakhir. Mencari senyum yang hilang dari wajah para penduduk Jakarta…

Bangsa kita konon terkenal ke seluruh dunia karena senyum yang hangat. Bahkan salah satu iklan yang saya lihat di salah satu majalah ngetop di Amerika Utara menjual senyum Indonesia, kira kira bunyinya begini: “Going Alaska? Experience the warm smile of Indonesian with Holland Cruise Ship”. Hah? Ngapain juga menikmati senyum hangat Indonesia di Alaska? Walaupun iklan ini rada enggak nyambung, tapi bangga juga dong sebagai bangsa..

Dahsyatnya senyuman!

Banyak para Jakartans –termasuk saya, mungkin- sudah berubah menjadi zombie. Manusia tanpa senyum. Mungkin karena menjamurnya kejahatan. Mungkin asap knalpot dan macetnya jalan yang menyebabkan. Mungkin juga perlombaan terlalu berat untuk mengejar hidup, dan kebahagiaan. Padahal apa nikmatnya hidup ini tanpa senyum? Padahal asesoris wajah yang paling hebat dan paling murah ya itu, SENYUM! Padahal tak bisa di pungkiri, biarpun tanpa hasil riset, sudah terbukti bahwa senyum bisa mencairkan hati sekeras batu. Padahal berdasarkan riset, orang yang suka tersenyum, lebih bahagia dan punya kesempatan lebih besar untuk sukses dalam hidupnya. Tapi kenapa banyak orang masih sayang untuk membaginya?

Senyum itu kan reaksi normal dari stimuli tertentu, sama halnya dengan bahasa non verbal lainnya. Dan coba deh perhatikan, mana ada satu kultur di manapun di dunia yang punya bahasa tubuh berbeda untuk mengungkapkan makna senyum. Senyum punya bahasa universal! Membuka mulut, menarik bibir kearah bawah, memperlihatkan gigi, tak peduli jika ompong atau berjigong… Senyum secara teknis adalah ungkapan ekspresi wajah yang di bentuk melalui pelekukan otot dekat kedua garis sisi mulut kita atau keduanya garis mulut dan otot dekat kelopak luar mata..


Senyum Tulus

Menurut pakar syaraf Perancis jaman baheula, Duchenne, senyum yang melibatkan otot wajah dekat bibir, dan otot wajah dekat mata, lah yang bisa di sebut sebagai senyum asli dan tulus. Jadi kalau ingin tahu apakah senyum itu tulus atau tidak, lihatlah kontraksi otot di sisi luar mata, ada atau tidak? Tapi hati hati, jangan sampai Anda mengirim sinyal yang keliru waktu memelototi wajah di depan Anda.


Senyum, terutama yang tulus punya potensi tular yang sangat besar. Ketika melihat seseorang tersenyum, akan membuat kita merasa senang luar biasa dan membalas senyum itu juga. Otak kita pada saat yang sama akan mengeluarkan endorphin yang sangat penting sebagai pengontrol rasa sakit, dan dapat memberi perasaan senang, damai dan bahagia. Pernahkan Anda lihat seseorang menjadi marah karena diberi senyum tulus dan bahagia? Orang gila, barangkali ya.


Senyum 5 Watt

Ada juga senyum yang tanggung, diantara tulus dan palsu. Yang seperti ini sudah lewat dari momen senyum palsu, tapi belum sampai ke senyum tulus. Saya menyebutnya senyum 5 watt, tak terlalu berseri seri, tapi punya potensi ke arah senyum bahagia beneran,. Biasanya kita melancarkan senyum 5 watt ini pada saat kita malu atau sedang malu-maluin. Tak apalah, senyum 5 watt pun jadi.

Saya punya seorang teman yang senyum tidak yakin kearah seorang cowok di seberang meja di sebuah restaurant. Tak lama sesudah itu, mereka sudah telpon telponan. Sekarang mereka sudah menjadi suami istri yang bahagia. Tapi harap maklum, adegan dan hasil dari senyum Anda bisa bervariasi, dan hasil akhir tidak di tanggung.


Senyum Formal

Senyum yang cuma melibatkan otot dekat kedua sisi garis mulut kita bisa di bilang senyum formal yang tingkat ketulusannya mungkin tak bisa di andalkan. Biasanya sih, kita bisa mendapatkan senyum seperti ini dari para marketer, salesman, hotel, bank, senyum ‘Garuda’, dan orang orang yang baru bertemu.

Tapi ada juga yang paling tak bisa diandalkan makna ketulusannya yaitu senyum hangat (hangat tahi ayam) bapak bapak dan ibu ibu para calon petinggi negeri yang bertebaran di spanduk, poster dan tempelan stiker di sepanjang jalan, di TV, koran dan majalah di Indonesia Raya saat ini. Saya sampai pusing sendiri. Tengok sana senyum, tengok sini senyum. Semua senyum itu seolah memanggil manggil. Ayolah pilihlah saya… Tunggu saja, kalau tak menang, modal terbuang, senyum hangat (tahi ayam) itu bisa berubah, hilang hangatnya tinggal tahi nya. Uasem Tenan!!


Percobaan Senyum

Menjadi orang Indonesia, saya punya kebanggaan tersendiri karena kayanya negeri ini dengan beragam dan berbagai macam hal. Apapun bisa ditemukan, dari yang paling bagus sampai yang paling hancur. Namun satu hal, masih susah buat saya menemukan senyum tulus dari seseorang yang tidak saya kenal. (Memang saya gila juga sih, untuk apa mengharap senyum dari seorang asing?). Dalam pencarian senyum itulah, saya membuat eksperimen perburuan senyum di airport, tempat yang paling sering saya kunjungi selain mall, beberapa tahun terakhir ini. Tempat ini kaya sekali akan latar belakang demography dan psychograpy. Berbagai orang dari latar belakang yang berbagai pula, tumplek blek bersatu. Disinilah saya bereksperimen memburu senyuman dan melontarkan senyuman kepada orang orang tak dikenal yang saya temui. Dan inilah hasil akhirnya:


- Tanpa Senyum atau senyum curiga:

Bila saya coba tersenyum ramah duluan kepada para satuan pengaman di bagian scanning X-ray. Mungkin pikir mereka buat apa sih senyum senyum, pasti ada yang coba ditutu- tutupi dengan senyum itu. Sialnya, jika saya memulai dengan senyum, pasti saya akan ditanya, dan kadang diminta membongkar tas saya, meskipun tak ada sesuatupun yang mencurigakan di dalamnya. Belajar dari seringnya mengalami ini, sayapun akhirnya selalu pasang tampang netral atau senyum formal angkuh bila menghadapi mereka. Ajaibnya, bongkar membongkar tak terjadi lagi.


- Senyum ge-er :

Ini biasanya terjadi jika target sasaran senyum saya mengira saya naksir mereka. Hati hati jika melakukan ini, bisa bisa merepotkan Anda, karena jika target merasa senang, biasanya akan terjadi gangguan berupa obrolan lebih jauh, atau mengajak berkenalan.


- Boro-boro senyum:

Jangan harap mendapatkan senyum dari para petugas di bagian pengecapan passport sebelum berangkat atau di ketibaan. Kalaupun kita senyum, bisa bisa mereka merasa dilecehkan. Jangan coba coba menyapa lebih dulu, apalagi mengajak mereka ngobrol. Bisa makin curiga. Dan bersiap siap saja untuk sakit hati karena dicueki. Maklum, jaga image dengan cara pasang muka kencang, sepertinya masih diperlukan. Jujur sih, sesekali ada juga yang mengendorkan mukanya dan mengganjar para penumpang dengan senyum tanggung mereka.


- Senyum otomatis:

Ini bisa didapat dari para petugas di konter konter penerbangan. Ya, lumayan lah daripada tak ada senyum sama sekali kan?


- Senyum gombal:

Ini biasanya datang dari para penjaja liar yang menawarkan parfum, tas, baju dan makanan, dan transport. Mereka akan memberikan senyum gombal nya yang manis kepada calon penumpang, penunggu dan penggembira di airport, sampai kita menolak jaja-an mereka, senyum gombal itu akan berubah menjadi masam!


- Senyum menyeringai seolah menemukan mangsa:

Dalam beberapa kali experimen saya, ini salah satu senyum menyebalkan yang saya temui. Biasanya datang dari para penjaja servis transport tak terdaftar, atau para lelaki berpakaian petugas, entah petugas apa. Para transporter ini tak kenal kata tidak yang diucapkan dengan disertai senyum manis dan sopan. Sekali lagi, ini salah saya juga, memberikan senyum ramah kepada mereka. Di beberapa kesempatan, senyum itu dianggap senyum naïve dari seorang TKW. Beberapa petugas bahkan mendekati saya dengan memasang tampang wibawa, dan mungkin bermaksud memeras, berujar dengan galaknya: “TKW ya! Sini dulu!” Haduh! Mentang mentang tampang saya yang kampungan ini dan dandanan yang seadanya. Tobaaat deh!

Rabu, 14 Januari 2009

Pygmalion Effect .. Try this .... ;)

Hukum Pygmalion - Hukum Berpikir Positif

Pygmalion adalah seorang pemuda yang berbakat seni memahat. Ia sungguh piawai dalam memahat patung. Karya ukiran tangannya sungguh bagus. Tetapi bukan kecakapannya itu menjadikan ia dikenal dan disenangi teman dan tetangganya.

Pygmalion dikenal sebagai orang yang suka berpikiran positif. Ia memandang segala sesuatu dari sudut yang baik.
· Apabila lapangan di tengah kota becek, orang-orang mengomel. Tetapi Pygmalion berkata, 'Untunglah, lapangan yang lain tidak sebecek ini.'
· Ketika ada seorang pembeli patung ngotot menawar-nawar harga, kawan-kawan Pygmalion berbisik, 'Kikir betul orang itu.'
· Tetapi Pygmalion berkata, 'Mungkin orang itu perlu mengeluarkan uang untuk urusan lain yang lebih perlu'.
· Ketika anak-anak mencuri apel dikebunnya, Pygmalion tidak mengumpat. Ia malah merasa iba, 'Kasihan, anak-anak itu kurang mendapat pendidikan dan makanan yang cukup di rumahnya.'

Itulah pola pandang Pygmalion. Ia tidak melihat suatu keadaan dari segiburuk, melainkan justru dari segi baik. Ia tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain; sebaliknya, ia mencoba membayangkan hal-hal baik dibalik perbuatan buruk orang lain. Pada suatu hari Pygmalion mengukir sebuah patung wanita dari kayu yang sangat halus. Patung itu berukuran manusia sungguhan. Ketika sudah rampung, patung itu tampak seperti manusia betul. Wajah patung itu tersenyum manis menawan, tubuhnya elok menarik. Kawan-kawan Pygmalion berkata, 'Ah,sebagus- bagusnya patung, itu cuma patung, bukan isterimu.' Tetapi Pygmalion memperlakukan patung itu sebagai manusia betul. Berkali-kali patung itu ditatapnya dan dielusnya. Para dewa yang ada di Gunung Olympus memperhatikan dan menghargai sikap Pygmalion, lalu mereka memutuskan untuk memberi anugerah kepada Pygmalion, yaitu mengubah patung itu menjadi manusia betul. Begitulah, Pygmalion hidup berbahagia dengan isterinya itu yang konon adalah wanita tercantik di seluruh negeri Yunani. Nama Pygmalion dikenang hingga kini untuk mengambarkan dampak pola berpikir yang positif. Kalau kita berpikir positif tentang suatu keadaan atau seseorang, seringkali hasilnya betul-betul menjadi positif.

Misalnya,
· Jika kita bersikap ramah terhadap seseorang, maka orang itupun akan menjadi ramah terhadap kita.
· Jika kita memperlakukan anak kita sebagai anak yang cerdas, akhirnya dia betul-betul menjadi cerdas.
· Jika kita yakin bahwa upaya kita akan berhasil, besar sekali kemungkinan upaya dapat merupakan separuh keberhasilan.

Dampak pola berpikir positif itu disebut dampak Pygmalion. Pikiran kita memang seringkali mempunyai dampak fulfilling prophecy atau ramalan tergenapi, baik positif maupun negatif.
Kalau kita menganggap tetangga kita judes sehingga kita tidak mau bergaul dengan dia, maka akhirnya dia betul-betul menjadi judes. Kalau kita mencurigai dan menganggap anak kita tidak jujur, akhirnya ia betul-betul menjadi tidak jujur. Kalau kita sudah putus asa dan merasa tidak sanggup pada awal suatu usaha, besar sekali kemungkinannya kita betul-betul akan gagal.

Pola pikir Pygmalion adalah berpikir, menduga dan berharap hanya yang baik tentang suatu keadaan atau seseorang. Bayangkan, bagaimana besar dampaknya bila kita berpola pikir positif seperti itu. Kita tidak akan berprasangka buruk tentang orang lain.Kita tidak menggunjingkan desas-desus yang jelek tentang orang lain. Kita tidak menduga-duga yang jahat tentang orang lain.

Kalau kita berpikir buruk tentang orang lain, selalu ada saja bahan untuk menduga hal-hal yang buruk. Jika ada seorang kawan memberi hadiah kepada kita, jelas itu adalah perbuatan baik. Tetapi jika kita berpikir buruk, kita akan menjadi curiga, 'Barangkali ia sedang mencoba membujuk,' atau kita mengomel, 'Ah, hadiahnya cuma barang murah.' Yang rugi dari pola pikir seperti itu adalah diri kita sendiri.Kita menjadi mudah curiga. Kita menjadi tidak bahagia. Sebaliknya, kalau kita berpikir positif, kita akan menikmati hadiah itu dengan rasa gembira dan syukur, 'Ia begitu murah hati. Walaupun ia sibuk, ia ingat untuk memberi kepada kita.' Warna hidup memang tergantung dari warna kaca mata yang kita pakai. Kalau kita memakai kaca mata kelabu, segala sesuatu akan tampak kelabu. Hidup menjadi kelabu dan suram. Tetapi kalau kita memakai kaca mata yang terang, segala sesuatu akan tampak cerah. Kaca mata yang berprasangka atau benci akan menjadikan hidup kita penuh rasa curiga dan dendam. Tetapi kaca mata yang damai akan menjadikan hidup kita damai.

Hidup akan menjadi baik kalau kita memandangnya dari segi yang baik. Berpikir baik tentang diri sendiri. Berpikir baik tentang orang lain. Berpikir baik tentang keadaan. Berpikir baik tentang Tuhan.

Dampak berpikir baik seperti itu akan kita rasakan. Keluarga menjadi hangat. Kawan menjadi bisa dipercaya. Tetangga menjadi akrab. Pekerjaan menjadi menyenangkan. Dunia menjadi ramah. Hidup menjadi indah. Seperti Pygmalion, begitulah.
MAKE SURE YOU ARE PYGMALION and the world will be filled with positive people ........ ....how nice!!!!

Jumat, 17 Agustus 2007

Bagaimana Seharusnya Jadi Seorang Pemimpin

Pertama, kita semua membutuhkan penyerahan diri kepada seseorang yang bisa memaksimalkan penggunaan potensi pribadi kita untuk pencapaian kualitas-kualitas hasil yang tidak mungkin dicapai tanpa tuntunan dari pribadi tersebut. Dan orang itu, siapa pun dia - ada atau tidak ada, kenal atau tidak, tua atau mudah, dekat atau jauh, se-keyakinan atau tidak - dia adalah pemimpin bagi kita.

Kedua, sang pemimpin tidak harus memiliki - apalagi menguasai dengan keahlian yang lebih tinggi daripada kita, untuk memberikan tuntunan - karena kompetensi untuk pencapaian hasil itu sudah ada pada diri kita. Bila dia yang melaksanakan tugas kita untuk menjadikan kita pribadi-pribadi super - maka dia bukan seorang pemimpin, tetapi seorang pembantu atau pendukung tenaga.

Ketiga, sang pemimpin harus memiliki kualitas pribadi yang pantas untuk menerima penyerahan diri kita itu; entah karena pendidikan, pengalaman, atau kualitas-kualitas lain, tetapi yang akan melontarkan kita ke tempat-tempat yang bahkan bisa saja lebih tinggi dari posisi yang pernah dicapai oleh sang pemimpin.

Keempat, sang pemimpin harus memiliki sudut pandang yang adil dan ikhlas mengenai hak Anda untuk mencapai keberhasilan, yang bahkan lebih tinggi dari yang pernah dicapainya.

Kelima, sang pemimpin tidak berupaya untuk menjadikan yang dipimpinnya merasa berhutang budi atas kepemimpinannya; karena keberhasilan yang dipimpinnya hanya dimungkinkan oleh kompetensi dari yang dipimpin; dan bahwa kontribusi kepemimpinannya adalah sebuah tugas yang sudah terbayarkan dengan kemuliaan menerima penugasan untuk menjadikan pribadi-pribadi lain sebagai pribadi-pribadi yang mencapai potensi terbaik mereka.

Apabila kita mengerti betul peran yang lima di atas, maka selebihnya diserahkan kepada keramahan kita kepada yang baik untuk diri kita.

Kepercayaan Dan Selembar Kaca

"Kepercayaan ibaratkan selembar kaca yang dititipan kepada kita untuk dijaga agar tidak tergores atau pecah. Satu goresan apalagi pecah akan merusak kepercayaan itu."

Seorang sahabat saya seminggu yang lalu, harus mendekam dalam penjara. Pasalnya dia melakukan satu kesalahan yang sangat fatal dalam hidupnya, yaitu mencuri.

Selama ini dia dikenal orang yang rajin, suka kerja keras, bahkan suka lembur, hanya untuk mendapatkan sesuap nasi bagi kehidupan keluarganya di kampung.

Dia yang dikenal sangat santun dan JUJUR, maka oleh perusahaan, dia diberikan kepercayaan yang hanya diberikan kepada beberapa orang saja. Dalam beberapa tahun kepercayaan diberikan kepadanya, maka selama itu dia dapat memperlihakan prestasinya sebagai orang yang sangat bisa dipercaya.

Beberapa hari yang lalu dia harus mendekam dalam penjara hanya karena melakukan satu kesalahan, yaitu melakukan satu tindakan yang selama ini tidak pernah disangkakan orang akan diperbuatnya, yaitu; mencuri.

Manusia dilahirkan dengan satu sifat kejujuran, dimana ini merupakan modal awal seorang untuk bisa hidup. Seorang yang mempunyai sifat yang jujur, akan memberikan kemudahan baginya untuk bisa hidup, bagaimana dia bisa dihargai oleh orang lain, bagaimana dia bisa dipercaya oleh orang lain.

Dengan kejujuran, kita bisa mencapai kehidupan yang sangat cemerlang dalam keseharian.

Kejujuran juga dapat membahagiakan orang-orang yang kita kasihi. Bagaimana seorang anak balita, dengan kejujuran dan kepolosannya telah memberikan rasa bahagia bagi orang-orang sekitarnya.

Kejujuran juga bisa memberikan ketenangan bagi orang disekitar kita, karena dengan kejujuran yang kita miliki, orang bisa memberikan kepercayaannya kepada kita, dia bisa memberikan sesuatu yang mungkin tidak kita duga, yang kesemua itu akan memberikan nilai lebih untuk kita.

Kujujuran bisa menjadikan kita sebagai orang terhormat, bisa juga menjadi orang pesakitan.

Kejujuran itu tidak bisa diraih haya dalam waktu yang singkat, tapi harus diperjuangkan dalam waktu yang lama, karena satu kesalahan yang kita perbuat akan menghancurkan kepercayaan yang telah kita terima selama ini. Sekali kepercayaan itu rusak maka bisa jadi kepercayaan itu akan hilang selamanya.

Kalau kita lihat quote di atas, maka kepercayaan ibaratkan selembar kaca yang dititipkan kepada kita. Bagaimana kita bisa merawat kaca yang telah dipercayakan kepada kita, kebersihannya harus kita jaga, jangan sampai kotor, tergores apalagi pecah. Karena satu goresan yang kita lakukan akan memberikan goresan yang tidak mungkin untuk dihapus dengan cara apapun.

Bagi orang yag telah memberikan kepercayaan itu, hanya dua pilihan baginya, tetap memberikan kepercayaan itu kepada kita dengan goresan yang kita perbuat atau menariknya kembali dari kita.

Lembaran kaca yang ditarik dikarenakan goresan yang kita perbuat, maka ada dua hal akan dilakukan oleh pemiliknya, disimpan atau dihancurkan.

Setelah dihancurkan, dikemanakan pecahan kaca tersebut?

Pecahan kaca yang telah hancur berkeping-keping, dengan butiran kaca yang halus, dan juga pecahan yang panjang dan tajam, akan dikumpulkan dan dimasukkan kedalam hati untuk disimpan selama hayat dikandung badan.

Maka selama kita hidup, maka selama itu kepercayaan yang telah kita perbuat akan ada dalam hati orang-orang yang telah memberikan kepercayaannya kepada kita. Selama itu kehormatan kita akan ditentukan oleh apa yang telah kita perbuat dengan kepercayaan yang telah kita terima selama ini.

Untuk menjadikan kita sebagai orang terhormat, adalah menjadikan kita sebagai Orang Yang Dipercaya, karena dengan demikian maka kehormatan kita akan diuji sampai kapan kehormatan yang diberikan kepada kita bisa kita pertahankan.

Sekarang apakah Anda merupakan orang yang dipercaya dan mendapatkan Kepercayaan dari orang-orang disektar Anda?

Jumat, 10 Agustus 2007

'You've No EXCUSE with Pray'






To Do, To Have, atau To Be?

"Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai. Oleh karenanya, kita membagikan cinta bagi orang lain." (Victor Hugo)

Tidak ada yang bisa menghentikan waktu. Ia terus maju. Umur terus bertambah. Manusia pun mengalami babak-babak dalam hidupnya. Saat masuk fase dewasa, orang memasuki tiga tahapan kehidupan.

Ada masa di mana orang terfokus untuk melakukan sesuatu (to do). Ada saat memfokuskan diri untuk mengumpulkan (to have). Ada yang giat mencari makna hidup (to be). Celakanya, tidak semua orang mampu melewati tiga tahapan proses itu.

Fase pertama, fase to do.
Pada fase ini, orang masih produktif. Orang bekerja giat dengan seribu satu alasan. Tapi, banyak orang kecanduan kerja, membanting tulang, sampai mengorbankan banyak hal, tetap tidak menghasilkan buah yang lebih baik. Ini sangat menyedihkan. Orang dibekap oleh kesibukan, tapi tidak ada kemajuan. Hal itu tergambar dalam cerita singkat ini. Ada orang melihat sebuah sampan di tepi danau. Segera ia meloncat dan mulailah mendayung. Ia terus mendayung dengan semangat. Sampan memang bergerak. Tapi, tidak juga menjauh dari bibir danau. Orang itu sadar, sampan itu masih terikat dengan tali di sebuah tiang.

Nah, ke banyakan dari kita, merasa sudah bekerja banyak. Tapi, ternyata tidak produktif. Seorang kolega memutuskan keluar dari perusahaan. Ia mau membangun bisnis sendiri. Dengan gembira, ia mempromosikan bisnisnya. Kartu nama dan brosur disebar. Ia bertingkah sebagai orang sibuk.

Tapi, dua tahun berlalu, tapi bisnisnya belum menghasilkan apa-apa. Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan. Jay Abraham, pakar motivasi bidang keuangan dan marketing pernah berujar, "Banyak orang mengatakan berbisnis. Tapi, tidak ada hasil apa pun. Itu bukanlah bisnis." Marilah kita menengok hidup kita sendiri. Apakah kita hanya sibuk dan bekerja giat, tapi tanpa sadar kita tidak menghasilkan apa-apa?
 
Fase kedua, fase to have.
Pada fase ini, orang mulai menghasilkan. Tapi, ada bahaya, orang akan terjebak dalam kesibukan mengumpulkan harta benda saja. Orang terobesesi mengumpulkan harta sebanyak- banyaknya. Meski hartanya segunung, tapi dia tidak mampu menikmati
kehidupan. Matanya telah tertutup materi dan lupa memandangi berbagai keindahan dan kejutan dalam hidup. Lebih-lebih, memberikan secuil arti bagi hidup yang sudah dijalani. Banyak orang masuk dalam fase ini.

Dunia senantiasa mengundang kita untuk memiliki banyak hal. Sentra-sentra perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah telah memaksa kita untuk mengkonsumsi banyak barang.

Bahkan, dunia menawarkan persepsi baru. Orang yang sukses adalah orang yang mempunyai banyak hal. Tapi, persepsi keliru ini sering membuat orang mengorbankan banyak hal. Entah itu perkawinan, keluarga, kesehatan, maupun spiritual.

Secara psikologis, fase itu tidaklah buruk. Harga diri dan rasa kepuasan diri bisa dibangun dengan prestasi-prestasi yang dimiliki. Namun, persoalan terletak pada kelekatannya. Orang tidak lagi menjadi pribadi yang merdeka.

Seorang sahabat yang menjadi direktur produksi membeberkan kejujuran di balik kesuksesannya. Ia meratapi relasi dengan kedua anaknya yang memburuk. "Andai saja meja kerja saya ini mampu bercerita tentang betapa banyak air mata yang menetes di sini, mungkin meja ini bisa bercerita tentang kesepian batin saya...," katanya.

Fase itu menjadi pembuktian jati diri kita. Kita perlu melewatinya. Tapi, ini seperti minum air laut. Semakin banyak minum, semakin kita haus. Akhirnya, kita terobsesi untuk minum lebih banyak lagi.

Fase ketiga, fase to be.
Pada fase ini, orang tidak hanya bekerja dan mengumpulkan, tapi juga memaknai. Orang terus mengasah kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang semakin baik.
Seorang dokter berkisah. Ia terobesesi menjadi kaya karena masa kecilnya cukup miskin. Saat umur menyusuri senja, ia sudah memiliki semuanya. Ia ingin mesyukuri dan memaknai semua itu dengan membuka banyak klinik dan posyandu di desa-desa miskin.

Memaknai hidup
Ia memaknai hidupnya dengan menjadi makna bagi orang lain. Ada juga seorang pebisnis besar dengan latar belakang pertanian hijrah ke desa untuk memberdayakan para petani. Keduanya mengaku sangat menikmati pilihannya itu.

Fase ini merupakan fase kita menjadi pribadi yang lebih bermakna. Kita menjadi pribadi yang berharga bukan karena harta yang kita miliki, melainkan apa yang bisa kita berikan bagi orang lain.

Hidup kita seperti roti. Roti akan berharga jika bisa kita bagikan bagi banyak orang yang membutuhkan. John Maxwell dalam buku Success to Significant mengatakan "Pertanyaan terpenting yang harus diajukan bukanlah apa yang kuperoleh. Tapi, menjadi apakah aku ini?"

Nah, Mahatma Gandhi menjadi contoh konkret pribadi macam ini. Sebenarnya, ia menjadi seorang pengacara sukses. Tapi, ia memilih memperjuangkan seturut nuraninya. Ia menjadi pejuang kemanusiaan bagi kaum papa India .

Nah, di fase manakah hidup kita sekarang? Marilah kita terobsesi bukan dengan bekerja atau memiliki, tetapi menjadi pribadi yang lebih matang, lebih bermakna dan berkontribusi!

Senin, 30 Juli 2007

Hakekat Kekayaan Hidup Sejati

”Jika seorang manusia sudah memiliki dua lembah yang penuh berisi dengan harta, maka pasti ia akan mencari lembah yang ketiga. Dan tidak akan pernah manusia merasa kenyang hingga tanah sudah kena pada perutnya.”
- Al-Hadits –

Dalam kehidupan di era teknologi digital yang serba canggih dewasa ini, kecenderungan yang merasuki banyak manusia adalah hidup mengejar kesuksessan dalam karier, hidup dan bisnis setinggi-tingginya. Menjadi sukses dalam karier, hidup dan bisnis telah menjadi tujuan utama banyak manusia, apapun paradigma kesuksesan itu baginya. Kebanyakan manusia — apa pun suku bangsa, kedudukan, jabatan, maupun agamanya– menempatkan ukuran kesuksesan hidupnya melalui ukuran penguasaan materi atau harta benda.

Keinginan kuat setiap individu untuk menjadi sukses dan berhasil meraih kekayaan materi atau harta adalah sesuatu yang penting. Begitu pentingnya memiliki kekayaan harta atau materi ini, maka Imam Al-Ghazali mengibaratkan, “orang yang mencari kebaikan tanpa harta ibarat orang pergi ke hutan tanpa membawa senjata atau ibarat burung elang tak bersayap”. Karena materi merupakan sarana penting dalam mencapai berbagai tujuan kebaikan. Materi juga memiliki peranan penting pula dalam upaya manusia meningkatkan kualitas hidup maupun dalam upaya manusia meningkatkan amalan ibadahnya.

Yang menjadi masalah adalah, begitu sibuknya manusia mengejar kekekayaan materi duniawi ini, seringkali menjadikan mereka melupakan hakekat kehidupan dan hakekat kekayaan sejati yang abadi. Mereka menempatkan pusat orientasi hidupnya pada kesuksesan penguasaan materi, bahkan sampai mendewakan materi. Mereka mengejar keberhasilan materi dengan tidak memperdulikan aturan hukum alam dan cenderung memutarbalikan hukum alam. Kecenderungan seperti inilah yang salah dan harus diluruskan kembali.

Manusia yang hanya menempatkan orientasi hidup pada nilai-nilai duniawi semata, mereka akan menjadi manusia yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang dikuasainya. Mereka ingin menambah dan menambah terus. Ini sama halnya dengan jabatan atau kekuasaan yang telah mereka dapatkan. Ketika mereka memiliki kekuasaan atau jabatan maka cenderung selalu ingin dipertahankan, walaupun, misalnya, sudah tidak memiliki kemampuan melaksanakannya ataupun sudah terlalu banyak kesalahan yang pernah dilakukannya.

Lantas bagaimana agar kita tidak terjebak dalam jeratan orientasi salah dalam hidup yang hanya berpusat pada materi duniawi ? Bagaimana kita menyikapi kehidupan yang penuh persaingan tanpa terjebak dalam kesalahan paradigma tentang kekayaan materi ? Berikut ini beberapa tips yang dapat membantu kita agar tidak tergelincir dalam kesalahan melawan aturan hukum alam.

1. Hakekat Hidup Sejati
Begitu sibuknya manusia modern mengejar kekayaan materi duniawi seringkali salah dalam memahami hakekat hidup sejati. Ada aturan hukum alam yang mengatur mengenai hakekat “hidup sejati” dengan “konsekuensi logis” kehidupan. Apa itu hakekat hidup sejati dan konsekuensi logis kehidupan ? Hidup sejati adalah inti, hakekat, “come first.” Sedangkan konsekuensi logis adalah perifer, kulit, “come later.” Manusia seharusnya mengejar lebih dulu hidup sejati dan konsekuensi logis akan datang dengan sendirinya.

Ilustrasi sederhananya adalah, kalau Anda seorang karyawan maka berusahalah menjadi “karyawan sejati” yang menjunjung tinggi profesionalisme dan nilai-nilai spiritual kebenaran lebih dulu. Kekayaan uang atau materi adalah “konsekuensi logis” dari hasil menjadi karyawan sejati. Kalau anda menjalankan usaha, maka berusahalah menjadi pengusaha sejati yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran lebih dulu. Sedangkan profit atau keuntungan materi berlimpah adalah konsekuensi logis yang akan didapatkan dengan menjadi pengusaha sejati. Demikian juga dengan profesi lainnya. Dahulukan menjalani hakekat hidup sejati.

Janganlah lebih dulu mengejar profit, lebih dulu mengejar kekayaan uang, lebih dulu menginginkan gaji yang tinggi, tanpa berusaha menjalani hidup sejati. Ini namanya memutarbalikan aturan hukum alam yang berarti hukum Allah. Inilah yang menyebabkan banyak orang melakukan berbagai penyimpangan, penyelewengan, korupsi, penipuan demi mendapatkan tujuannya untuk keberhasilan materi dan kekayaan, yang harusnya adalah konsekuensli logis kehidupan. Akibatnya tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa menjadi rusak dan dilanggar begitu saja, seperti apa yang kita rasakan sekarang ini.

2. Imbangi Dengan kekayaan Spiritual
Dalam mengejar kekayaan materi, keberhasilan duniawi sebaiknya selalu mengimbangi dengan kekayaan spiritual. Berusahalah terus meningkatkan diri dalam mengisi kekayaan spiritual diri kita. Karena kekayaan spiritual ini akan mampu mengendalikan dan mengisi setiap kehidupan manusia dengan sifat senantiasa bersyukur dan merasa puas. Dalam pengertian sederhana, bisa mensyukuri terhadap apa yang sudah diperolehnya. Sifat syukur ini merupakan manifestasi dari suara hati spiritual, sehingga dapat menjadikan terminimalisasinya sifat serakah, tamak, rakus dan merusakan tatatan hukum kehidupan.

Hakikat kekayaan itu bukanlah semata-mata banyak harta yang dikuasai, akan tetapi terletak pada kekayaan spiritual yang dimiliki. Orang yang memiliki kekayaan spiritual tidak akan pernah dikendalikan dan dikuasai oleh materi, jabatan, dan kedudukan, akan tetapi justru hal-hal tersebutlah yang dikendalikan dan dikuasainya. Semuanya itu hanyalah merupakan alat untuk mengaktualisasikan fungsi kekhalifahannya yang memberikan kebaikan dan kemanfaatan bagi masyarakat banyak.

3. Berdamai Dengan Ketentuan Allah
Berdamai dengan ketentuan Allah artinya, dalam mengejar keberhasilan hidup dunia dan kekayaan materi senantiasa mengikuti aturan hukum Allah. Tidak melanggar ketentuan-ketentuan Allah yang sudah dituangkan dalam kitab suci-NYA serta dapat berdamai menerima segala ketentuan-Nya. Kemampuan berdamai dengan ketentuan Allah dapat mengarahkan manusia untuk merasa puas atas rahmat Allah. Ini adalah sikap spiritual dan perilaku rohaniah yang menjadi kekayaan sejati yang tidak akan pernah habis. Manusia yang mampu memiliki sifat mampu menerima ketentuan Allah, dapat berpuas diri dengan hasil perjuangannya, dapat melahirkan pribadi yang tenang, memiliki sikap yang cerdas dan tentu saja pandai bersyukur terhadap segala nikmat Allah SWT yang diberikan kepadanya.

Alangkah indahnya kalau hidup dapat mengikuti aturan hukum alam, memiliki kekayaan materi yang disertai dengan kekayaan spiritual, serta dapat menerima ketentuan Allah yang menjadikannya memiliki kekayaan sejati yang abadi.