Jumat, 17 Agustus 2007

Bagaimana Seharusnya Jadi Seorang Pemimpin

Pertama, kita semua membutuhkan penyerahan diri kepada seseorang yang bisa memaksimalkan penggunaan potensi pribadi kita untuk pencapaian kualitas-kualitas hasil yang tidak mungkin dicapai tanpa tuntunan dari pribadi tersebut. Dan orang itu, siapa pun dia - ada atau tidak ada, kenal atau tidak, tua atau mudah, dekat atau jauh, se-keyakinan atau tidak - dia adalah pemimpin bagi kita.

Kedua, sang pemimpin tidak harus memiliki - apalagi menguasai dengan keahlian yang lebih tinggi daripada kita, untuk memberikan tuntunan - karena kompetensi untuk pencapaian hasil itu sudah ada pada diri kita. Bila dia yang melaksanakan tugas kita untuk menjadikan kita pribadi-pribadi super - maka dia bukan seorang pemimpin, tetapi seorang pembantu atau pendukung tenaga.

Ketiga, sang pemimpin harus memiliki kualitas pribadi yang pantas untuk menerima penyerahan diri kita itu; entah karena pendidikan, pengalaman, atau kualitas-kualitas lain, tetapi yang akan melontarkan kita ke tempat-tempat yang bahkan bisa saja lebih tinggi dari posisi yang pernah dicapai oleh sang pemimpin.

Keempat, sang pemimpin harus memiliki sudut pandang yang adil dan ikhlas mengenai hak Anda untuk mencapai keberhasilan, yang bahkan lebih tinggi dari yang pernah dicapainya.

Kelima, sang pemimpin tidak berupaya untuk menjadikan yang dipimpinnya merasa berhutang budi atas kepemimpinannya; karena keberhasilan yang dipimpinnya hanya dimungkinkan oleh kompetensi dari yang dipimpin; dan bahwa kontribusi kepemimpinannya adalah sebuah tugas yang sudah terbayarkan dengan kemuliaan menerima penugasan untuk menjadikan pribadi-pribadi lain sebagai pribadi-pribadi yang mencapai potensi terbaik mereka.

Apabila kita mengerti betul peran yang lima di atas, maka selebihnya diserahkan kepada keramahan kita kepada yang baik untuk diri kita.

Kepercayaan Dan Selembar Kaca

"Kepercayaan ibaratkan selembar kaca yang dititipan kepada kita untuk dijaga agar tidak tergores atau pecah. Satu goresan apalagi pecah akan merusak kepercayaan itu."

Seorang sahabat saya seminggu yang lalu, harus mendekam dalam penjara. Pasalnya dia melakukan satu kesalahan yang sangat fatal dalam hidupnya, yaitu mencuri.

Selama ini dia dikenal orang yang rajin, suka kerja keras, bahkan suka lembur, hanya untuk mendapatkan sesuap nasi bagi kehidupan keluarganya di kampung.

Dia yang dikenal sangat santun dan JUJUR, maka oleh perusahaan, dia diberikan kepercayaan yang hanya diberikan kepada beberapa orang saja. Dalam beberapa tahun kepercayaan diberikan kepadanya, maka selama itu dia dapat memperlihakan prestasinya sebagai orang yang sangat bisa dipercaya.

Beberapa hari yang lalu dia harus mendekam dalam penjara hanya karena melakukan satu kesalahan, yaitu melakukan satu tindakan yang selama ini tidak pernah disangkakan orang akan diperbuatnya, yaitu; mencuri.

Manusia dilahirkan dengan satu sifat kejujuran, dimana ini merupakan modal awal seorang untuk bisa hidup. Seorang yang mempunyai sifat yang jujur, akan memberikan kemudahan baginya untuk bisa hidup, bagaimana dia bisa dihargai oleh orang lain, bagaimana dia bisa dipercaya oleh orang lain.

Dengan kejujuran, kita bisa mencapai kehidupan yang sangat cemerlang dalam keseharian.

Kejujuran juga dapat membahagiakan orang-orang yang kita kasihi. Bagaimana seorang anak balita, dengan kejujuran dan kepolosannya telah memberikan rasa bahagia bagi orang-orang sekitarnya.

Kejujuran juga bisa memberikan ketenangan bagi orang disekitar kita, karena dengan kejujuran yang kita miliki, orang bisa memberikan kepercayaannya kepada kita, dia bisa memberikan sesuatu yang mungkin tidak kita duga, yang kesemua itu akan memberikan nilai lebih untuk kita.

Kujujuran bisa menjadikan kita sebagai orang terhormat, bisa juga menjadi orang pesakitan.

Kejujuran itu tidak bisa diraih haya dalam waktu yang singkat, tapi harus diperjuangkan dalam waktu yang lama, karena satu kesalahan yang kita perbuat akan menghancurkan kepercayaan yang telah kita terima selama ini. Sekali kepercayaan itu rusak maka bisa jadi kepercayaan itu akan hilang selamanya.

Kalau kita lihat quote di atas, maka kepercayaan ibaratkan selembar kaca yang dititipkan kepada kita. Bagaimana kita bisa merawat kaca yang telah dipercayakan kepada kita, kebersihannya harus kita jaga, jangan sampai kotor, tergores apalagi pecah. Karena satu goresan yang kita lakukan akan memberikan goresan yang tidak mungkin untuk dihapus dengan cara apapun.

Bagi orang yag telah memberikan kepercayaan itu, hanya dua pilihan baginya, tetap memberikan kepercayaan itu kepada kita dengan goresan yang kita perbuat atau menariknya kembali dari kita.

Lembaran kaca yang ditarik dikarenakan goresan yang kita perbuat, maka ada dua hal akan dilakukan oleh pemiliknya, disimpan atau dihancurkan.

Setelah dihancurkan, dikemanakan pecahan kaca tersebut?

Pecahan kaca yang telah hancur berkeping-keping, dengan butiran kaca yang halus, dan juga pecahan yang panjang dan tajam, akan dikumpulkan dan dimasukkan kedalam hati untuk disimpan selama hayat dikandung badan.

Maka selama kita hidup, maka selama itu kepercayaan yang telah kita perbuat akan ada dalam hati orang-orang yang telah memberikan kepercayaannya kepada kita. Selama itu kehormatan kita akan ditentukan oleh apa yang telah kita perbuat dengan kepercayaan yang telah kita terima selama ini.

Untuk menjadikan kita sebagai orang terhormat, adalah menjadikan kita sebagai Orang Yang Dipercaya, karena dengan demikian maka kehormatan kita akan diuji sampai kapan kehormatan yang diberikan kepada kita bisa kita pertahankan.

Sekarang apakah Anda merupakan orang yang dipercaya dan mendapatkan Kepercayaan dari orang-orang disektar Anda?

Jumat, 10 Agustus 2007

'You've No EXCUSE with Pray'






To Do, To Have, atau To Be?

"Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai. Oleh karenanya, kita membagikan cinta bagi orang lain." (Victor Hugo)

Tidak ada yang bisa menghentikan waktu. Ia terus maju. Umur terus bertambah. Manusia pun mengalami babak-babak dalam hidupnya. Saat masuk fase dewasa, orang memasuki tiga tahapan kehidupan.

Ada masa di mana orang terfokus untuk melakukan sesuatu (to do). Ada saat memfokuskan diri untuk mengumpulkan (to have). Ada yang giat mencari makna hidup (to be). Celakanya, tidak semua orang mampu melewati tiga tahapan proses itu.

Fase pertama, fase to do.
Pada fase ini, orang masih produktif. Orang bekerja giat dengan seribu satu alasan. Tapi, banyak orang kecanduan kerja, membanting tulang, sampai mengorbankan banyak hal, tetap tidak menghasilkan buah yang lebih baik. Ini sangat menyedihkan. Orang dibekap oleh kesibukan, tapi tidak ada kemajuan. Hal itu tergambar dalam cerita singkat ini. Ada orang melihat sebuah sampan di tepi danau. Segera ia meloncat dan mulailah mendayung. Ia terus mendayung dengan semangat. Sampan memang bergerak. Tapi, tidak juga menjauh dari bibir danau. Orang itu sadar, sampan itu masih terikat dengan tali di sebuah tiang.

Nah, ke banyakan dari kita, merasa sudah bekerja banyak. Tapi, ternyata tidak produktif. Seorang kolega memutuskan keluar dari perusahaan. Ia mau membangun bisnis sendiri. Dengan gembira, ia mempromosikan bisnisnya. Kartu nama dan brosur disebar. Ia bertingkah sebagai orang sibuk.

Tapi, dua tahun berlalu, tapi bisnisnya belum menghasilkan apa-apa. Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan. Jay Abraham, pakar motivasi bidang keuangan dan marketing pernah berujar, "Banyak orang mengatakan berbisnis. Tapi, tidak ada hasil apa pun. Itu bukanlah bisnis." Marilah kita menengok hidup kita sendiri. Apakah kita hanya sibuk dan bekerja giat, tapi tanpa sadar kita tidak menghasilkan apa-apa?
 
Fase kedua, fase to have.
Pada fase ini, orang mulai menghasilkan. Tapi, ada bahaya, orang akan terjebak dalam kesibukan mengumpulkan harta benda saja. Orang terobesesi mengumpulkan harta sebanyak- banyaknya. Meski hartanya segunung, tapi dia tidak mampu menikmati
kehidupan. Matanya telah tertutup materi dan lupa memandangi berbagai keindahan dan kejutan dalam hidup. Lebih-lebih, memberikan secuil arti bagi hidup yang sudah dijalani. Banyak orang masuk dalam fase ini.

Dunia senantiasa mengundang kita untuk memiliki banyak hal. Sentra-sentra perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah telah memaksa kita untuk mengkonsumsi banyak barang.

Bahkan, dunia menawarkan persepsi baru. Orang yang sukses adalah orang yang mempunyai banyak hal. Tapi, persepsi keliru ini sering membuat orang mengorbankan banyak hal. Entah itu perkawinan, keluarga, kesehatan, maupun spiritual.

Secara psikologis, fase itu tidaklah buruk. Harga diri dan rasa kepuasan diri bisa dibangun dengan prestasi-prestasi yang dimiliki. Namun, persoalan terletak pada kelekatannya. Orang tidak lagi menjadi pribadi yang merdeka.

Seorang sahabat yang menjadi direktur produksi membeberkan kejujuran di balik kesuksesannya. Ia meratapi relasi dengan kedua anaknya yang memburuk. "Andai saja meja kerja saya ini mampu bercerita tentang betapa banyak air mata yang menetes di sini, mungkin meja ini bisa bercerita tentang kesepian batin saya...," katanya.

Fase itu menjadi pembuktian jati diri kita. Kita perlu melewatinya. Tapi, ini seperti minum air laut. Semakin banyak minum, semakin kita haus. Akhirnya, kita terobsesi untuk minum lebih banyak lagi.

Fase ketiga, fase to be.
Pada fase ini, orang tidak hanya bekerja dan mengumpulkan, tapi juga memaknai. Orang terus mengasah kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang semakin baik.
Seorang dokter berkisah. Ia terobesesi menjadi kaya karena masa kecilnya cukup miskin. Saat umur menyusuri senja, ia sudah memiliki semuanya. Ia ingin mesyukuri dan memaknai semua itu dengan membuka banyak klinik dan posyandu di desa-desa miskin.

Memaknai hidup
Ia memaknai hidupnya dengan menjadi makna bagi orang lain. Ada juga seorang pebisnis besar dengan latar belakang pertanian hijrah ke desa untuk memberdayakan para petani. Keduanya mengaku sangat menikmati pilihannya itu.

Fase ini merupakan fase kita menjadi pribadi yang lebih bermakna. Kita menjadi pribadi yang berharga bukan karena harta yang kita miliki, melainkan apa yang bisa kita berikan bagi orang lain.

Hidup kita seperti roti. Roti akan berharga jika bisa kita bagikan bagi banyak orang yang membutuhkan. John Maxwell dalam buku Success to Significant mengatakan "Pertanyaan terpenting yang harus diajukan bukanlah apa yang kuperoleh. Tapi, menjadi apakah aku ini?"

Nah, Mahatma Gandhi menjadi contoh konkret pribadi macam ini. Sebenarnya, ia menjadi seorang pengacara sukses. Tapi, ia memilih memperjuangkan seturut nuraninya. Ia menjadi pejuang kemanusiaan bagi kaum papa India .

Nah, di fase manakah hidup kita sekarang? Marilah kita terobsesi bukan dengan bekerja atau memiliki, tetapi menjadi pribadi yang lebih matang, lebih bermakna dan berkontribusi!